Oleh Fentia Budiman, Mahasiswa dari Maluku Utara, jurusan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia
Hak dalam pendidikan adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Hak atas pendidikan bukan sekadar soal bisa sekolah atau kuliah, tetapi juga mencakup akses yang adil, setara, dan bebas diskriminasi terhadap seluruh fasilitas pendukung pendidikan, termasuk beasiswa.
Dalam konteks Maluku Utara dan wilayah 3T lainnya, hak ini seringkali tercederai oleh praktik-praktik diskriminatif, ketimpangan akses informasi, hingga birokrasi yang berlapis dan tidak berpihak pada kelompok miskin belum lagi masalah korupsi.
Ketika mahasiswa harus berjuang sendiri untuk melanjutkan studi karena beasiswa tidak transparan atau terpusat pada kelompok tertentu, maka negara dan pemerintah daerah gagal memenuhi kewajibannya dalam menjamin hak pendidikan warganya.
Menyoal beasiswa bukan berarti menuntut belas kasihan, tetapi menegaskan bahwa pendidikan bukan hak istimewa melainkan hak dasar. Jika distribusi beasiswa dipenuhi oleh praktik transaksional, patronase politik, atau malah ketertutupan informasi, maka itu bentuk kekerasan struktural terhadap generasi muda yang ingin memutus rantai kemiskinan lewat pendidikan. Maka ketika saya bersuara soal beasiswa, itu bukan keluhan pribadi. Itu bentuk pembelaan atas hak konstitusional yang telah lama diabaikan.
Ketika suara mahasiswa dipersempit menjadi persoalan “baper” atau “drama personal”, itu adalah bentuk kekerasan simbolik yang melemahkan gerakan kritis. Strategi semacam ini digunakan untuk membungkam dan mendelegitimasi suara-suara yang menuntut perubahan sistemik. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar dalam kebijakan publik sering lahir dari suara yang dianggap remeh atau terlalu vokal. Labelisasi negatif terhadap mahasiswa yang bersuara justru memperlihatkan ketakutan akan terganggunya kenyamanan status quo yang selama ini menutup akses bagi mereka yang paling membutuhkan.
Lebih dari itu, beasiswa yang mestinya menjadi instrumen pemerataan justru menjelma sebagai alat kontrol dan seleksi sosial. Banyak mahasiswa dari keluarga petani, buruh, nelayan, atau pekerja informal di Maluku Utara yang akhirnya terpaksa menghentikan studi karena beasiswa hanya dinikmati oleh mereka yang dekat dengan jejaring kekuasaan.
Ketika distribusi beasiswa tidak didasarkan pada kebutuhan dan prestasi, melainkan pada relasi kuasa dan koneksi politik, maka sistem pendidikan kehilangan arah keadilannya. Yang dihasilkan bukan generasi kritis yang berpihak pada rakyat, melainkan elit intelektual baru yang tumbuh dari kompromi dan ketundukan.
Sudah waktunya kita berhenti menormalisasi ketidakadilan dalam pendidikan sebagai sesuatu yang “biasa” atau “memang begitu adanya.” Mahasiswa yang bersuara bukan musuh negara, mereka adalah penjaga konstitusi yang mengingatkan negara pada tanggung jawabnya.
Jika ruang demokrasi hanya boleh diisi oleh suara-suara yang jinak, maka yang kita bangun bukan masyarakat berkeadaban, tapi tatanan otoriter yang dibungkus formalitas demokrasi. Maka dari itu, suara ini akan terus lantang, sebab diam bukan pilihan ketika ketidakadilan telah menjadi sistematis.(*)