Proyek Food Estate di Halmahera Tengah: Janji Ketahanan Pangan yang Berujung pada Kegagalan?

 


MEDIACOGOIPA.ONLINE- Proyek Kawasan Pangan Terpadu (Food Estate) yang dikelola oleh PT. Multipola Halmahera Group di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi krisis pangan. 

Namun, investigasi lapangan yang dilakukan oleh mediacogoipa.online mengungkap fakta yang jauh dari harapan. Alih-alih menjadi solusi, proyek ini justru menuai kritik akibat penggusuran lahan warga tanpa ganti rugi, minimnya hasil pertanian, dan ketidakjelasan keberlanjutan program.

Proyek yang berlokasi di Desa Sosowomo dan Desa Tilope, Kecamatan Weda Selatan mendapatkan "karpet merah" dari Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, terutama saat Ikram Malan Sangaji masih menjabat sebagai Penjabat Bupati. 

Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemda Halmahera Tengah dan PT. Multipola Halmahera Group ditandatangani pada 6 Juni 2023 di Hotel Sahid Bela, Kota Ternate. Namun, setelah lebih dari setahun berjalan, proyek ini justru terlihat terbengkalai.

Berdasarkan pantauan langsung di lapangan, kawasan pangan terpadu di Desa Sosowomo dan Desa Tilope, yang memiliki luas lahan 300 hektare, kini dipenuhi rumput liar. Tidak ada lagi aktivitas penanaman atau panen yang terlihat. 

Padahal, sebelumnya lahan ini telah dikelola oleh warga selama puluhan tahun untuk menanam tanaman bulanan.

Seorang ibu warga Desa Soswomo yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan keprihatinannya. 

"Tanaman kami digusur padahal tanah tersebut sudah kami kelola puluhan tahun. Kami hanya warga biasa, jadi kami ikut saja keinginan pemerintah. Kami sempat dijanjikan akan bekerja di kawasan pangan terpadu, tapi setelah penanaman jagung pertama, kami tidak dilibatkan lagi," ujarnya.

Ibu tersebut juga menceritakan bahwa proyek ini hanya menanam jagung sekali panen. 

"Setelah panen pertama, jagung yang ditanam kedua kalinya justru dibiarkan sampai rusak. Sekarang lahan itu hanya ditumbuhi rumput," tambahnya.

Warga setempat mengaku bahwa tanaman mereka digusur dengan alasan tanah tersebut merupakan milik negara. Meskipun status tanah memang milik pemerintah, warga telah mengelolanya selama puluhan tahun dan telah membuktikan bahwa lahan tersebut produktif. Namun, demi proyek food estate, warga harus merelakan tanaman mereka dihancurkan tanpa mendapatkan ganti rugi.

"Kami hanya berharap bisa terus mengelola tanah ini karena sudah terbukti bisa menghasilkan. Tapi sekarang, kami hanya jadi penonton. Proyek ini tidak membawa manfaat bagi kami," keluh seorang warga lainnya.

Mediacogoipa.online juga mendatangi kantor PT. Multipola Halmahera yang terletak di lokasi kawasan pangan terpadu. Namun, yang ditemukan hanyalah kantor yang sepi tanpa aktivitas. Tidak ada tanda-tanda operasional perusahaan, yang ada hanyalah rumput liar yang tumbuh subur di sekitar lokasi.

Proyek food estate di Halmahera Tengah ini mengingatkan pada nasib serupa di daerah lain di Indonesia. Banyak proyek serupa yang gagal mencapai tujuannya, justru menimbulkan masalah baru seperti konflik lahan dan kerugian bagi masyarakat setempat.

Pemerintah seharusnya mendorong partisipasi warga yang telah puluhan tahun mengelola lahan tersebut. Bukannya melibatkan perusahaan yang justru menyingkirkan masyarakat dan tidak memberikan hasil yang signifikan. Warga telah membuktikan bahwa mereka mampu mengelola lahan secara produktif, namun sayangnya, kebijakan pemerintah justru mengabaikan potensi lokal tersebut.

Harus ada transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah dan PT. Multipola Halmahera Group. Mereka mempertanyakan keberlanjutan proyek ini dan meminta agar hak-hak mereka sebagai pengelola lahan diakui.

"Kami hanya ingin dihargai. Kami sudah membuktikan bahwa kami bisa mengelola lahan ini dengan baik. Jangan sampai proyek ini hanya menjadi alat untuk kepentingan segelintir orang," tegas seorang warga.

Proyek food estate seharusnya menjadi solusi untuk ketahanan pangan, bukan justru menciptakan masalah baru. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan ini dan melibatkan masyarakat lokal sebagai mitra utama dalam pengelolaan lahan. Jika tidak, proyek ini hanya akan menjadi contoh lain dari kegagalan pembangunan yang merugikan rakyat kecil.(*)


Baca Juga:Warga Kelurahan Tubo Swadaya Perbaiki Jalan Rusak, Desak Pemerintah Segera Turun Tangan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama