MEDIACOGOIPA.ONLINE- Di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit, keluhan masyarakat terus bermunculan. Mulai dari pegawai yang diberhentikan, ASN yang bekerja tanpa AC, dosen yang marah karena tunjangan kinerja (Tukin) tidak dibayar, hingga penghapusan gaji ke-13 dan pemotongan Tunjangan Hari Raya (THR).
Di tingkat bawah, masyarakat juga semakin merasakan tekanan dengan berkurangnya bantuan sosial seperti beras dari 10 kg menjadi 5 kg per jiwa per bulan, yang kabarnya akan dihentikan setelah Lebaran.
Krisis gas elpiji 3 kg juga menjadi masalah serius. Banyak warung tidak bisa beroperasi karena kelangkaan gas, sementara ibu-ibu rumah tangga kesulitan memasak.
Meskipun ada program makan siang bergizi gratis untuk anak-anak, pelaksanaannya seringkali tersendat.
"Anak-anak itu makan bonggol pisang," ungkap seorang Dandim di Papua dengan nada haru. "Sementara saudara-saudaranya di kota makan pizza."
Namun, di tengah kesulitan yang dialami oleh masyarakat kelas menengah dan bawah, muncul kabar mengejutkan tentang pengangkatan seorang pesulap sebagai Staf Khusus (Stafsus) Kementerian Pertahanan.
Pesulap tersebut, yang memiliki gelar PhD dalam bidang sulap dari International Magician Society Academy di Amerika Serikat, dianggap tidak memiliki latar belakang yang relevan dengan dunia pertahanan.
Made Supriatma, Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, menyoroti pengangkatan tersebut.
"Ini adalah bentuk transfer kekayaan negara untuk orang kaya," tegasnya.
Menurut Supriatma, pengangkatan pesulap sebagai Stafsus Kementerian Pertahanan tidak memiliki dasar yang jelas, kecuali karena ia pernah menjadi influencer dalam kampanye presiden sebelumnya.
"Dia mendapat pangkat Letkol Tituler dari Menhan saat itu, Prabowo Subianto, yang sekarang jadi presiden. Tapi, apa hubungannya sulap dengan pertahanan negara?" tanya Supriatma.
Supriatma juga mengkritik ketimpangan yang semakin terasa di negeri ini.
"Kabinet dipenuhi oleh politisi kaya raya yang diberi jabatan dan akses untuk memperkaya diri, sementara anggaran untuk masyarakat kelas menengah dan bawah justru dipotong," ujarnya.
Ia menambahkan, situasi ini semakin memperlihatkan ketidakadilan sosial yang terjadi.
Supriatma juga menyoroti kontradiksi dalam kebijakan pemerintah.
"Di satu sisi, ada Dandim yang menangis melihat anak-anak Papua makan bonggol pisang, sementara membayangkan mereka harus makan pizza. Di sisi lain, ada Stafsus yang tidak jelas kontribusinya, tapi menikmati fasilitas negara," katanya.
Ia menambahkan, program makan siang gratis untuk anak-anak, meski dianggap sebagai tindakan heroik, seringkali tidak memenuhi standar gizi yang cukup.
"Makan siang gratis itu memang ada, tapi gizinya belum tentu terpenuhi. Ini hanya simbol belaka," ujar Supriatma.
Sementara itu, pesulap yang kini menjadi Stafsus Kementerian Pertahanan diharapkan bisa "menyulap" pertahanan negara agar lebih kuat.
"Dana pajak yang dibayar oleh rakyat digunakan untuk hal-hal seperti ini. Ini ironis," tandas Supriatma. (*)
Baca Juga: Dialog Publik Masyarakat Maffa-Kebun Raja Bahas Dampak Sawit terhadap Ruang Hidup Warga