Pameran Lukisan Yos Suprapto Dibatalkan: Pembungkaman Terhadap Kebebasan Berekspresi


MEDIACOGOIPA.ONLINE JAKARTA-Pameran tunggal seniman Yos Suprapto yang berjudul Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan yang seharusnya digelar di Galeri Nasional, Jakarta, dibatalkan menjelang pembukaannya. Pameran yang rencananya akan menampilkan 30 lukisan ini, terpaksa dibatalkan setelah muncul ketegangan antara pelukis dan kurator.


Suwarno Wisetrotomo, yang ditunjuk sebagai kurator pameran, meminta agar Yos Suprapto menurunkan lima lukisan menjelang pembukaan. Permintaan tersebut ditolak oleh Suprapto, yang merasa bahwa kelima lukisan itu sangat relevan dengan tema pamerannya. Sebagai respons, Suprapto setuju untuk menutupi dua lukisan dengan kain hitam, namun pihak kurator dan Galeri Nasional tidak setuju dan malah mematikan lampu ruang pameran serta mengunci pintu. Akhirnya, Yos Suprapto memutuskan untuk membatalkan pameran dan membawa pulang karya-karyanya.

LUKISAN YANG DILARANG

Keputusan kurator untuk meminta penurunan lukisan menjelang pembukaan pameran menimbulkan keanehan, mengingat peran kurator dalam menentukan karya-karya yang akan dipamerkan, serta memberikan konteks yang menyeluruh terhadap pameran tersebut. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa kurator mungkin berada di bawah tekanan pihak lain dalam permintaan tersebut.


BACA JUGA: Jelang Akhir Tahun, PJ Gubernur Gelar Sidak Stok Pangan


Beberapa pihak menduga ada nuansa politik dalam pembatalan pameran ini. Lukisan-lukisan yang dibredel diduga mengandung gambar yang menyerupai sosok Mulyono, yang diduga berpotensi menyinggung pihak pemerintah. Di tengah ketegangan politik dan peralihan pemerintahan, keputusan ini mencerminkan sikap yang semakin tidak toleran terhadap kebebasan berekspresi.

LUKISAN YANG DILARANG

Penulis dan peneliti Oleh Made Supriatma menyoroti fenomena ini, mengingatkan bahwa pengalaman dekade terakhir menunjukkan pentingnya ruang untuk perdebatan dan kebebasan berekspresi dalam masyarakat. Ia mengutip pemikiran penyair Meksiko, Octavio Paz, yang menyatakan bahwa ketika sebuah masyarakat mulai membusuk, bahasa adalah hal pertama yang mengalami kerusakan. Dari seni, menurut Supriatna, kita dapat menyusun kembali tata bahasa dan makna baru yang penting dalam kehidupan sosial kita.


Pembredelan karya seni, menurutnya, adalah bagian dari pembusukan itu sendiri. Para seniman, sebagai intelektual publik, seringkali menjadi pihak pertama yang merasakan dan menyuarakan ketidakberesan dalam masyarakat. Ketidakmampuan untuk menoleransi ekspresi seni, terutama yang kritis, dianggap sebagai tanda ketidakmampuan untuk menerima kritik sosial yang sehat dan membangun. (*)

Posting Komentar

0 Komentar