Aktivis Lingkungan Astuti N. Kilwow: Banjir di Halmahera Tengah sebagai Bencana Ekologis - MEDIACOGOIPA

Breaking

Jumat, 14 Juni 2024

Aktivis Lingkungan Astuti N. Kilwow: Banjir di Halmahera Tengah sebagai Bencana Ekologis

MEDIACOGOIPA.ONLINE- Aktivis lingkungan Astuti N. Kilwow dari Walhi Maluku Utara memberikan tanggapannya mengenai banjir yang melanda Weda Selatan, Desa Sumber Sari, Weda, Desa Ake Ici, dan Weda Tengah, Desa Lukolamo pada awal dan pertengahan bulan Juni. Menurut Astuti, banjir yang terjadi bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana ekologis yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

"Persoalan bencana dapat dibedakan menjadi bencana alam dan bencana ekologis. Gunung meletus dan tsunami merupakan bencana alam yang terjadi tanpa campur tangan manusia. Namun, banjir, longsor, dan banjir rob adalah bagian dari bencana ekologis yang diakibatkan oleh aktivitas manusia," jelas Astuti.

Astuti menyoroti aktivitas pertambangan di Halmahera Tengah, khususnya di Lelilef dan Weda, yang berdampak signifikan terhadap terjadinya banjir. "Semua masyarakat tahu bahwa aktivitas pertambangan bisa berdampak terhadap banjir di Halmahera Tengah. Selain perubahan iklim makro, perubahan iklim mikro yang terjadi di sekitar Halmahera Tengah juga berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan," tambahnya.

Perubahan iklim mikro disebabkan oleh perubahan bentang alam, penggusuran gunung-gunung, dan kerusakan benteng air akibat industri ekstraktif. "Hal ini mengakibatkan pencemaran lembah di sungai-sungai dan laut. Dalam konteks Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tumpang tindih di beberapa daerah lain seperti NHM di Halut, situasi ini mungkin serupa dengan yang terjadi di Halmahera Tengah," ujar Astuti.

Astuti juga mengkritik program nasional seperti penanaman pohon yang dianggapnya tidak cukup untuk mengatasi kerusakan hutan. "Pada tahun 2011, pemerintah mencanangkan program penanaman satu miliar pohon dalam satu tahun. Namun, dengan kerusakan hutan yang ada, kita butuh 165 miliar tahun untuk mengembalikan hutan Indonesia yang hilang. Ini semacam tambal sulam," katanya.

Selain itu, Astuti menyoroti solusi yang diberikan oleh perusahaan tambang yang menanam pohon sebagai tindakan yang tidak memadai. "Menanam satu hektar pohon dibandingkan berjuta-juta hektar lahan yang ditambang dan mengalami daya rusak tinggi adalah solusi palsu untuk melindungi ekologi yang ada," jelasnya.

Astuti juga menyebut tentang kebijakan energi terbarukan seperti hilirisasi nikel untuk baterai sebagai solusi yang juga palsu karena di tingkat hulu, nikel dapat menciptakan kerusakan. "Curah hujan yang tinggi juga diakibatkan oleh aktivitas manusia. Jika hutan masih terjaga, hutan akan menyerap air dan sungai yang bentangannya masih terjaga akan menahan airnya agar tidak mudah menguap," jelasnya.

Terkait pengelolaan kebijakan di tingkat daerah, Astuti mengkritik Undang-Undang Pemerintahan Nomor 14 yang meresentralisasi kewenangan pengelolaan sumber daya alam kembali ke pemerintah pusat. "Kewenangan di tingkat daerah semakin kecil, walaupun secara politik ada," katanya.

Astuti menegaskan pentingnya pemerintah Halmahera Tengah untuk mengambil sikap politik yang kuat terhadap ekosistem ekologi, ekonomi, dan sosial kultur masyarakat. "Pemerintah harus mengontrol investasi agar tidak gila-gilaan dan semakin merusak lingkungan," tutupnya.

Kami juga mencoba meminta konfirmasi Pemerintah Halten, terkhusus kepada BNPB namun belum ada balasan sama sekali. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.