Matinya Intelektualisme: Refleksi Komunikasi Politik di Indonesia - MEDIACOGOIPA

Breaking

Kamis, 06 Juni 2024

Matinya Intelektualisme: Refleksi Komunikasi Politik di Indonesia

Penulis: Made Supriatma, (Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura)

Bila Saudara besar di zaman Orde Baru, Saudara pasti sangat kenal dengan apa yang namanya Kelompencapir. Ia adalah singkatan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa, yang anggotanya adalah para petani dan nelayan dari seluruh Indonesia. Pendirinya adalah Harmoko, Menteri Penerangan Orde Baru, yang sangat terkenal dengan ujarannya, "Menurut petunjuk Bapak Presiden," setiap kali ia memberikan keterangan kepada media seusai rapat kabinet. Harmoko juga terkenal dengan detail membosankan dan dianggap tidak penting. Ia akan membacakan harga cabai, tomat, kentang, dan komoditas lainnya.

Kelompencapir adalah kelompok yang kerap dicibir. Kelompok petani dan nelayan dipertemukan dalam format cerdas cermat. Mereka beradu pengetahuan tentang soal-soal pertanian. Sekalipun dicibir, Kelompencapir ternyata sukses besar, khususnya di kalangan petani dan nelayan. Indonesia berhasil meningkatkan produksi pangannya. Informasi pertanian, di masa belum ada grup WA, tersebar dengan cepat dan lebih merata.

Ini pun dipergunakan oleh Soeharto dan Harmoko untuk memobilisasi massa. Harmoko kemudian mengorganisir banyak temu wicara di mana Soeharto memberikan wejangan kepada para petani dan nelayan. Tentu, mereka pun boleh bertanya kepada presiden—pertanyaan yang sudah diseleksi sedemikian rupa, tentu saja. Soeharto pun tampak sangat menikmati berbagai temu wicara ini. Di sana, ia tidak didebat. Komunikasi bisa satu arah dan ia tidak pernah mendapat pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh yang mempertanyakan substansi kebijakannya. Apalagi mengkritik.

Temu wicara itu memenuhi semua nafsu dan keinginan feodalnya tanpa ia menjadi kelihatan terlalu feodal. Ia menjadi raja, tanpa kelihatan sebagai raja. Dengan demikian, secara politik tidak ada satu pun ia langgar.

Bagi saya, temu wicara itu persis seperti penggambaran antropolog John Pamberton tentang gamelan dalam upacara perkawinan Jawa. Gending "Kebo Giro" yang agung itu dimainkan oleh para nayaga hanya untuk 'tidak didengarkan.' Ia harus ada namun tidak untuk disimak dan didengarkan. Namun ia harus ada. Kalau ia tidak ada, upacara perkawinan menjadi tidak lengkap.

Seperti itulah temu wicara-temu wicara itu dalam konteks politik Orde Baru. Ia adalah politik partisipatif dan deliberatif di mana rakyat petani dan nelayan bertemu dengan pemimpinnya. Namun tidak ada partisipasi maupun deliberasi di sana. Jauh dari itu.

Saya tahu persis bahwa Soeharto sangat menghindari pertemuan dengan 'warga negara' (citizen). Temu wicara bukan pertemuan antara warga negara dengan presidennya. Ia adalah pertemuan antara 'kawula' dengan 'gusti'-nya. Sehingga tidak ada hal yang substantif di sana. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan tentang kebijakan. Tidak ada adu pikiran alternatif.

Tidak heran bila Soeharto sangat nyaman dengan format ini. Di sana ia bisa mengkomunikasikan pikirannya tanpa ada yang menantangnya. Seperti yang saya katakan tadi, ini adalah komunikasi satu arah. Dan omongan Soeharto berfungsi persis seperti gamelan di upacara perkawinan Jawa di atas. Terdengar tapi tidak untuk disimak, dimengerti, dikaji, atau dipertanyakan.

Para politisi sangat suka akan pola seperti ini. Para pemimpin seperti Bung Karno dan Donald Trump, misalnya, suka dengan rapat umum. Mereka akan bicara berjam-jam. Melucu, mengagitasi, memprovokasi, atau sesekali menyitir pendapat-pendapat dari orang-orang besar, untuk menunjukkan keluasan dan kedalaman pengetahuannya.

Rapat umum ini jelas berbeda dengan temu wicara karena rapat umum lebih mengedepankan unsur-unsur emosional. Ia semacam konfirmasi atas pemujaan atau kultus para pengikut kepada pemimpinnya. Namun keduanya sama: ia mempertemukan para pemimpin dengan massanya. Dan, yang terakhir tidak mempertanyakan kekuasaannya. Mereka adalah massa yang jinak (domesticated) dan biasanya dari kalangan pemuja yang tidak berpikir.

Bahkan temu wicara lebih sinikal lagi: mereka bukanlah pemuja. Mereka hanya takut—mereka harus tepuk tangan karena konsekuensinya serius bila tidak. Mereka harus tertawa kalau ratunya melucu karena kalau tidak keluarga di rumah bisa tidak makan karena sumber penghasilannya dicabut.

Itu membawa saya pada tipe ketiga cara berkomunikasi dengan massa: blusukan. Saya kira ini adalah bentuk tengah dari temu wicara dan rapat umum. Blusukan dinarasikan sebagai cara untuk mengetahui secara langsung kondisi rakyat kecil dan kemudian berdialog dengan rakyat sambil memberikan solusi. Cara ini efektif karena ujung-ujungnya sang pemimpin memberikan sesuatu kepada rakyatnya—bantuan! Entah dalam bentuk kartu-kartu, uang tunai, atau bansos. Targetnya jelas: rakyat kecil, khususnya yang miskin. Mengapa yang miskin? Karena merekalah blok pemilih paling besar di negeri ini.

Seperti rapat umum, blusukan menghasilkan pemuja. Namun para pemuja ini hanya akan loyal jika ada bantuan. Ada bansos, tuan kusayang. Tidak ada bansos, tuan kudepak!

Adakah garis merah dari ketiga metode ini? Ada. Ia anti-intelektualisme. Ia anti dialog—sekalipun temu wicara dan blusukan itu berdialog, namun antara pihak-pihak yang kekuasaan dan kekuatannya sama sekali tidak berimbang. Kalau Saudara warga negara, sekalipun Saudara hanya petani, Saudara merasa berimbang dengan seorang presiden.

Itu tidak terjadi dalam temu wicara dan blusukan. Dalam temu wicara, Saudara adalah kawula. Soeharto adalah gusti. Dalam blusukan, Saudara adalah klien. Jo Klitik adalah patron. Saudara adalah penerima bantuan. Jo Klitik adalah pemberi bantuan.

Dalam perkembangan terakhir, ternyata saya menemukan varian keempat. Bukan temu wicara. Bukan rapat umum. Bukan blusukan. Namun, semacam seminar dengan anak-anak SD!

Sebagai seorang peneliti, saya merasa berada pada titik terendah yang baru. Pemimpin muda, yang akan membawa Indonesia menjadi negara maju ini dialognya dengan anak-anak SD. Ketika ditanya tentang resep kepemimpinan, jawabnya adalah ada tim tidak kelihatan yang bekerja untuk saya!

Ini adalah seabsurd-absurdnya pemimpin yang pernah saya lihat. Tadinya saya mengharap ia datang ke UI, ITB, atau alma mater bapaknya UGM, untuk berdialog secara intelek karena ia lulusan sekolah di Singapura dan Australia. Namun tidak. Ia memilih untuk datang ke SD dan temu wicara di sana.

Dan, sebagai peneliti, saya tidak bisa melakukan analisis apapun. Karena tidak ada anti-intelektualisme di sini. Bahkan tidak ada sisi intelektualnya sedikit pun. 

Dan, itulah persembahan terbaik kita untuk bangsa ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.