Polarisasi Politik: Salah Arti Politik Identitas Bisa Membenturkan Orang Pendatang Dan Anak Kampung - MEDIACOGOIPA

Breaking

Minggu, 12 Mei 2024

Polarisasi Politik: Salah Arti Politik Identitas Bisa Membenturkan Orang Pendatang Dan Anak Kampung

Oleh: Firmansyah Usman

Belakang ini kita menyaksikan polarisasi politik di Halmahera Tengah (Halteng) menuju Pemilukada 2024 semakin panas. Pihak-pihak dari para bakal calon Bupati memanfaatkan media sosial untuk terus memproduksi politik identitas.


Polarisasi politik (perbedaan pendapat) dalam konteks demokrasi adalah hal yang wajar, namun menjadi tidak wajar kalau elit politik terus mempertajam suasana dengan narasi politik yang bersifat antagonistik seperti politik identitas (anak kampung vs pendatang) kepada masyarakat secara terbuka maupun menggunakan media sosial, Facebook, Group Wa, dan lainnya.


Tak hanya itu, dalam dinamika politik Halteng, politik dipresentasikan seakan hanya milik elit yang berkuasa, milik elit parpol, milik abangan yang ditokohkan, sedang masyarakat terpecah belah dalam polarisasi politik yang bobrok.


Perbedaan pandangan masing-masing elit ini melalui kelompoknya justru tidak akan melahirkan konsensus dalam kehidupan politik dewasa ini.


Tetapi perlu diingat, polarisasi politik di Halteng hanya akan memproduksi pikiran kita pada perdebatan dan perbedaan pandangan secara tajam terhadap isu yang itu-itu saja.


Sementara itu, Hutan tropis Halmahera, Maluku Utara seluas 5.300 hektar telah hilang akibat beroperasinya puluhan industri nikel, melalui laporan yang dikeluarkan Climate Rights International (CRI), mengungkapkan telah hilangnya keanekaragaman hayati secara signifikan serta hilangnya sekitar 2,04 juta metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut. 


Kepentingan elit global dan oligarki nasional atas sumber daya alam Halmahera Tengah telah mengakibatkan hal tersebut di atas.


Buruh-buruh tambang terus dihisap tenaganya. Angka kecelakaan kerja meningkat. Pencemaran lingkungan, polusi udara dan lain sebagainya diabaikan.


Lalu anak negeri di bumi Fagogoru Halmahera Tengah hanya berada dalam lingkaran primordialisme dan politik identitas menganggap kepemimpinan elit yang diciptakan melalui Polarisasi politik yang demikian akan membawa perubahan untuk masyarakat.


*Depolitasasi (Menghapus/Menghilangkan Kegiatan Politik)


Dalam tulisan sederhana ini, perlu sedikit saya sampaikan gagasan mengenai politik yang semestinya berpihak pada rakyat bukan membuat keterpecahbelahan dalam kehidupan sosial, sesungguhnya hal demikian merupakan warisan kompeni atau penjajah yakni politik Divide et impera selama ratusan tahun.


Sejak Orde Baru berkuasa terjadi Depolitisasi dan Deorganisasai, masyarakat dibayang-bayangi oleh politik otoriter militerisme. Ruang-ruang sosial diberangus mulai dari warung kopi, studio club hingga perguruan tinggi.


Penguasa Orde Baru waktu itu menyadari bahwa kesadaran kritis masyarakat tumbuh karena ruang mahasiswa dan para aktivis tak dikontrol oleh kekuasaan, ini mengakibatkan ideologi anti kekuasaan mendapatkan tempatnya.


Demi kekuasaan yang berlangsung selama 32 tahun itu, praktek-praktek depolitisasi jadi proyek Orde Baru, termasuk dirancangnya NKK-BKK di kampus, dan kepintaran mahasiswa diukur dengan IP.


Perlu diingat, di era globalisasi dan digitalisasi ini berorganisasi dan menyampaikan pendapat bukan lagi hal yang dilarang seperti di masa Orde Baru, tetapi seringkali juga kekuasaan selalu mempraktekkan anti demokrasinya dengan bertindak arogan.


Depolitisasi, Deorganisasai, dan kebebasan menyampaikan pendapat di era ini memang tumbuh subur, akan tetapi Depolitisasi, Deorganisasai justru dilakukan oleh Partai-partai politik saat ini dengan ketiadaan ruang politik untuk rakyat, ketiadaan organisasi untuk rakyat. Dunia sosial dibiarkan buta secara politik, kalau rakyat bodoh itu sangat menguntungkan. Sebagaimana Adolf Hitler penguasa Jerman paruh abad 20 pernah berkata bahwa “Alangkah beruntungnya penguasa jika memimpin masyarakat yang bodoh”.


Kebodohan akan membuat rakyat digiring ke fanatik buta, politik fitnah, politik identitas dan sebagainya. Inilah kebodohan yang dipertontonkan dan kekuasaan akan mengambil untung dari semua itu.


Maka sudah semestinya kegiatan atau pendidikan politik harus diberlakukan oleh Partai-partai politik kepada rakyat, bukan habis momen Pilkada lalu pintu partai tertutup rapat, kesibukan akan terlihat ketika ada hajatan atau menjelang momen politik 5 tahun.


Kalau partai politik seperti demikian, oleh Tunjung Sulaksono, S.IP, M.Si Dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam diskusi terbatas menyebutkan; "Partai-partai tersebut hanya mementingkan kelompoknya sendiri, sehingga terlihat jelas bahwa tidak adanya rasa memiliki.“


Lanjutnya lagi, "Jadi mereka itu cenderung oligarkis, artinya hanya ditentukan oleh segelintir orang saja dalam menentukan kepengurusan atau memilih pimpinannya."


Menurut ahli yang dinukil dari buku Pengantar Ilmu Politik oleh Ravyansah dkk, bahwa parpol punya sejumlah peran dan fungsinya, salah satunya yakni:


- Partai politik merupakan sarana pendidikan politik, yang mana berfungsi dalam memberikan kesadaran politik ke rakyat agar masyarakat bisa mengetahui hak berpolitik mereka. -


Kalau rakyat pintar, rakyat berpolitik yang terarah dan terorganisir, realita sosial yang bobrok bisa berubah.


Negara Venezuela, mungkin menjadi contoh kongkrit dimana rakyatnya dibangun kesadaran politik, setiap kelas sosial di masyarakat dibentuk organisasinya, pedagang kaki lima, petani, buruh, nelayan, pemuda, perempuan, dengan begitu rakyat bisa mengontrol negaranya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.