Made Supriatma Penulis: (Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura)
Tanggal 11-14 Mei, 26 Tahun Yang Lalu: Tidak banyak dari kita yang ingat. Saat itu, selama tiga hari, Jakarta dilanda kerusuhan hebat. Kerusuhan juga terjadi secara serempak di seluruh kota-kota besar, menengah, dan kecil di seluruh Indonesia.
Jakarta adalah pusat kerusuhan. Pada hari-hari itu, telah terjadi perkosaan massal yang menargetkan perempuan etnis Tionghoa. Ini bukan perkosaan biasa. Ini perkosaan yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan dengan target yang pasti.
Tim Gabungan Pencari Fakta atas kerusuhan ini melaporkan bahwa perkosaan tidak dilakukan dengan alat kelamin laki-laki. Namun dengan memasukkan alat khusus ke dalam kelamin perempuan yang ditargetkan. Para pelaku tampaknya melakukan secara profesional -- karena biasa melakukan tindakan keji itu.
Perkosaan-perkosaan semacam itu memang pernah terdengar sayup-sayup dari daerah-daerah yang mengalami kekerasan perang di negeri ini.
Anda sebagai warga negara mungkin tidak pernah menyangka bahwa sebagai bangsa kita mampu melakukan tindakan sekeji itu terhadap kemanusiaan. Namun itu benar-benar terjadi. Ratusan perempuan etnis Tionghoa yang menjadi sasaran mengalami perkosaan itu.
Saya sendiri selama tiga hari belakangan ini banyak berpikir dan merenung tentang hal ini. Pada satu titik, saya menundukkan kepala dan menitikkan air mata.
Tidak banyak yang bisa saya lakukan. Kalau doa bisa sedikit menyembuhkan, saya berdoa sebisanya. Walaupun saya pesimis. Otak saya tetap bertanya. Hati saya tetap gelisah.
Mengapa kita punya kemampuan itu? Sebrutal itukah kita? Yang lebih brutal dari itu adalah kemampuan kita untuk mengeutanasiakan mental kita. Sebagai bangsa kita punya kemampuan mematikan nurani kita, memendamnya, dan melenyapkan peristiwa-peristiwa keji itu hingga musnah total.
Bangsa Jerman membunuh lebih dari 6 juta orang Yahudi. Namun mereka memilih untuk kembali ke nurani mereka. Bangsa Jerman minta maaf, mengingat kekejian kemanusiaan mereka setiap saat, dan selain melakukan silih, mereka juga melarang ekspresi anti-semitisme.
Kita? Kita memilih untuk membunuh nurani itu. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada upaya untuk mengingat. Kalau Anda adalah korban di negeri ini, Anda akan tetap korban hingga akhir jaman. Jika Anda adalah korban di negeri ini, beban Anda bukannya diangkat dan hidup Anda dipulihkan. Tidak.
Sebaliknya, jika Anda adalah korban, Anda semakin ditindas, diasingkan, dan bahkan keturunan Anda pun secara berantai menanggung penindasan ini. Itulah yang terjadi pada korban 1965 dan korban-korban kemanusiaan dari rejim kediktatoran Suharto hingga kini.
Tentulah bangsa ini punya nasionalisme yang derajatnya amat tinggi. Dan, semakin saya renungkan, nasionalisme bangsa ini semakin aneh. Nasionalisme yang malu kalau tim sepakbolanya kalah; namun tidak pernah malu atas kekejian dan dan tindakan brutal terhadap sesama bangsa sendiri.
Dimanakah salahnya? Para Bapak Bangsa mendirikan Republik ini sebagai upaya emansipasi seluruh rakyat. Itulah inti dari nasionalisme dimana pun di dunia ini. Emansipasi! Persamaan derajat. Hukum yang adil dan berlaku untuk semua. Namun semakin lama derajat emansipasi ini semakin luntur; dan nasionalisme kita pun semakin dangkal (banal).
Kalau Anda punya waktu barang semenit dua menit pada hari ini, tundukkanlah kepala untuk mereka yang 26 tahun yang lalu menjadi korban. Ingatlah bau sangit daging manusia terbakar di berbagai kota. Penjarahan. Pembakaran. Dan, Perkosaan (dengan P besar karena derajatnya yang sangat menjijikkan, karena binatang pun tidak memperkosa; apalagi memperkosa untuk tujuan politik!)
Jika Anda percaya pada doa, menunduklah sebentar. Jika Anda hanya mampu mengingat, ingatlah para korban itu. Ingatlah mereka yang menciptakan hidup dan napas kita hingga hari ini sebagai bangsa.
Anda boleh mengikutkan kenyataan pahit hari ini. Juga boleh mengabaikannya. Yaitu bahwa para pelaku dari kekejian itu tidak hilang dari negeri ini. Merekalah yang menjadi pemenang.
Juga banyak dari mereka yang ikut meruntuhkan rejim diktator saat ini -- karena kepentingan politik yang dangkal -- akhirnya memilih menjadi gedibal dari kekuatan yang dulu mereka lawan. Merekalah yang membersihkan kotoran-kotoran dari kekejian. Pencuci dan pemuth noda darah yang dicipratkan oleh para korban.
Sedikit doa, renungan, tanpa kemarahan namun berusaha mendapatkan kekuatan untuk mengembalikan bangsa kita sebagai bangsa beradab dan penuh welas asih kemanusiaan, itulah yang kita perlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.