Mahasiswa di Amerika Bergolak Dukung Palestina Merdeka - MEDIACOGOIPA

Breaking

Kamis, 09 Mei 2024

Mahasiswa di Amerika Bergolak Dukung Palestina Merdeka

Foto: Caitlin Ochs/Reuters


Penulis: (Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura)

Mahasiswi-Mahasiswa Amerika Bergerak: Kampus-kampus di Amerika bergolak. Mahasiswa berdemonstrasi di hampir semua kampus. Mereka mendirikan tenda-tenda untuk menginap. Bahkan menduduki gedung dan membuat barikade-barikade. “Revolution is in the air,” demikian seorang mahasiswa S1 menceritakan pada saya. Maksudnya, udara sudah dipernuhi dengan aroma revolusi.

Apa yang mereka proteskan? Gaza! Mereka menentang pendudukan Israel terhadap jalur Gaza, sebilah tanah tersisa untuk orang-orang Palestina, yang tersingkir karena sebagian besar tanahnya dicaplok oleh Israel.


Awal dari semua ini saya kira Anda sudah mahfum. Ia dimulai 7 Oktober tahun lalu ketika organisasi Palestina, Hamas, menyerang satu kota di perbatasan dengan Israel. Sebelumnya, sekitar 3,000 roket diluncurkan dari Gaza ke kota yang diduduki oleh Israel.

Namun serangan paling mematikan dilakukan terhadap Festival Musik Nova. Akibat serangan itu 1,139 orang meninggal dan sekitar 250 lebih dijadikan sandera dan dibawa ke Gaza.

Serangan itu ditanggapi dengan balasan oleh Israel. Negara Zionis ini membombardir Gaza, memutus jalur makanan, menghantam target-target yang seharusnya dilindungi oleh hukum internasional seperti rumah sakit dan kamp-kamp pengungsian.
Korban berjatuhan. Penduduk Gaza mulai kelaparan. Gambar-gambar penderitaan muncul di berbagai siaran TV. Protes-protes anti perang pun bermunculkan. Awalnya, ia datang dari negara-negara Arab dan Muslim. Namun kemudian ia meluas ke Eropa dan Amerika.

Protes-protes di negara-negara Arab dan Muslim mulai surut. Bahkan konflik rupanya memiliki dimensi baru dengan masuknya Iran. Israel mencurigai bahwa Iran membantu Hamas dalam serangan 7 Oktober itu. Dan, beberapa minggu lalu, Israel membom Kedubes Iran di Damaskus, Suriah, sehingga menewaskan beberapa jendral yang sedang melakukan operasi rahasia di wilayah penuh konflik itu.

Iran membalas serangan itu dengan meluncurkan sekitar 300 misil ke wilayah Israel. Hampir semua misil tersebut dapat dicegat di udara. Kemudian baru diketahui bahwa beberapa negara Teluk, Arab Saudi, dan Jordania, juga membantu Israel dalam mencegat misil-misil dari Iran tersebut.

Geopolitik menjadi sangat rumit. Para mahasiswi/a Amerika dan sebagian dosen mereka menjadikan Gaza sebagai cause célèbre dari gerakan mereka. Mengapa protes ini bergaung di Amerika? Sementara di negara-negara yang secara tradisional gerakan mendukung kemerdekaan Palestina justru tidak melihat protes, atau tepatnya pergolakan, seperti kampus-kampus di Amerika?

Mengapa pula ia tidak bergaung di Indonesia – sekalipun para politisi pura-pura menyatakan simpati kepada Palestina?

Ada yang menarik dari pelaku protes ini, yakni anak-anak muda Amerika. Sebagian besar dari mereka adalah yang terkenal dengan sebutan Gen Z, yang terkenal akan ketidakpeduliannya. Banyak orang menuduh bahwa ini adalah generasi yang diasuh dalam pangkuan media sosial, khususnya Instagram, SnapChat, dan terakhir TikTok.

Tambahan pula, ini adalah generasi pandemi, yang tidak bisa keluar rumah atau tidak mengalami kehidupan bersama di sekolah dan berinteraksi langsung di kelas-kelas. Sebagian dari generasi ini tidak bisa wisuda SMA, sesuatu yang sangat penting dalam inisiasi kehidupan anak muda Amerika. Mereka juga tidak pergi ke prom atau pesta dansa sebelum wisuda.

Mereka yang tidak bisa wisuda ini bahkan saat ini juga tidak akan bisa wisuda universitas. Upacara wisuda di banyak universitas diinterupsi oleh protes-protes dan demo pro Palestina.

Generasi cuek bebek dan sangat selfish (berorientasi pada dirinya semata), ternyata sekarang memberontak! Mereka memberontak terhadap sesuatu yang dianggap tabu dalam masyarakat, bahkan komunitas akademik Amerika: Israel. Seringkali mempertanyakan Israel akan jatuh pada kategori anti-semitik. Sejarah kelam pembantaian bangsa Yahudi di Jerman dibawah Hitler masih menghantui Amerika dan negara-negara Barat.

Perlu juga dicatat bahwa protes-protes ini adalah yang terbesar di Amerika sesudah protes-protes anti perang Vietnam yang marak di akhir tahun 1960an dan awal 1970an. Sama seperti sekarang, protes-protes tersebut meledak merata di hampir semua kampus. Namun anti Perang Vietnam ini pun masih memiliki konteks Amerika, yakni para demonstran tidak mau berperang yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat Amerika. Sistem wajib militer membuat anak-anak muda Amerika harus berperang di perang yang mereka rasa bukan perang mereka dan dengan demikian tidak bisa dijustifikasi.

Mengapa protes pro-Palestina meledak di Amerika? Saya kira, dalam konteks Amerika, ini harus dilihat dari perubahan-perubahan dalam masyarakat Amerika.
Saya merasakan bahwa kampus-kampus Amerika, sebagai benteng liberalisme (bastion of liberalism) merasakan 'sesuatu' dalam masyarakat yang sedang dalam transformasi.

Amerika sedang mengalami pembelahan yang semakin mendalam. Masyarakat di negara ini sedang bergolak, khususnya antara kaum kanan: kulit putih, Kristen, dan tidak tamat universitas; melawan kaum progresif kiri liberal elitis yang mendukung ide persamaan hak, perjuangan rasial, dan retribusi kekayaan. Tentu sajan. Ini hanya penyederhanaan saja. Realitasnya lebih kompleks dari itu.
Kelompok pertama berkumpul di tenda besar Partai Republik; dan yang kedua di Partai Demokrat. Tentu ada nuansa-nuansa di dalam kedua partai tersebut. Republikan umumnya pro pasar bebas, pro pembebasan pajak untuk orang kaya, lebih suka melihat pemerintah itu berperan seminimal mungkin. Sebaliknya, Demokrat lebih melihat aspek distribusi pendapatan lewat tangan pemerintah, penyediaan jaring-jaring pengaman sosial, dan pro pajak tinggi untuk orang-orang kaya.

Kelompok kanan memiliki gerakannya sendiri dibawah MAGA (Make America Great Again) dibawah Donald Trump. Sebaliknya, kaum progresif liberal ini seakransg muncul dengan ide keadilan sosial yang tidak saja America-centrist tetapi global. Itulah sebabnya mereka sangat sensitif pada isu seperi Gaza.

Tentu saja, kedua belah pihak memiliki pemikir (intelektual)-nya sendiri-sendiri. Mereka memiliki argumen yang kuat dan menerjemahkannya ke dalam gerakan. Kedua belah pihak berusaha memasukkan argumen-argumen ini menjadi agenda politik mereka.

Apakah protes dan gerakan semacam ini akan masuk ke Indonesia? Bagaimana dengan Gen Z Indonesia? Saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah bahwa di Indonesia tidak ada pembelahan yang berarti. Elit kita sangat senang akan persatuan. Tidak ada debat. Kalau bisa tidak ada perspektif lain kecuali yang ditelorkan oleh para elit. Dan para intelektual kita pun senang sekali berselimut bersama kekuasaan.

Negeri kita adalah negeri tanpa ‘discourse.’ Tidak perlu adu gagasan. Kita sepakat dalam semua hal. Dan, tentu saja, seperti cara berpakaian, kita senang sekali dengan seragam. Kita membuat sistem persekolahan dimana orang tidak berbeda pendapat namun selalu setuju – dengan musyawarah tentu saja.

Bukankah kita selalu demikian? Tidak juga. Saya ingat pertengahan tahun 1980an dan awal 1990an. Beberapa intelektual Indonesia menyelesaikan studinya di Amerika. Kampus-kampus disana memang tidak bergolak seperti sekarang. Namun kajian-kajian komparatif – khususnya Amerika Latin – serta kritik terhadap pembangunanisme sangat mengemuka.

Para intelektual ini tidak perlu ruang besar. Sebagian dari mereka berkumpul di sudut Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Sebagian menduduki kantor terpencil di tengah gedung-gedung Jakarta. Namun mereka bisa membentuk sebuah diskusi besar, mebangun kontra argumen terhadap pembangunanisme-nya Suharto dan para gedibal intelektualnya.

Hasilnya segera tampak. Protes terhadap pembangunan waduk Kedung Ombo dimulai saat ini. Juga protes-protes lain. Kampus bangkit lagi. Dipadamkan. Namun bangkit lagi. Hingga pada 1998, kita menyaksikan keruntuhan rejim otoriter Orde Baru. Akar dari keruntuhan itu ada pada tahun 1980an.

Mengapa itu tidak terjadi sekarang? Padahal orang-orang Indonesia yang menjadi PhD di luar negeri jumlahnya ratusan kali lebih banyak dari mereka tahun 1980an? Jawabnya sederhana. Tidak banyak dari PhD ini yang tertarik berpikir bebas dan menjadi intelektual publik. Sebagian paling besar dari mereka adalah para 'careerist' yang memburu kepangkatan dan jabatan.

Keadaan juga berubah. Kita tidak hidup lagi dalam dunia dimana kita berkontradiksi untuk menghasilkan yang terbaik. Seperti pisau dan pengasahnya, keduanya beradu dan pisau menjadi tajam, asahan menjadi mengkilap. Kita hanya perlu pisau tumpul. Atau keris, yang kita sandang sebagai hiasan, tidak pernah digunakan untuk memotong atau bertempur, kecuali kita percayai memiliki kekuatan mistik. Dan, berhenti hingga disana saja.

Dan para mahasiswa? Salah satu kampus di Jogja sudah memberikan contoh: Ia berubah dari Kampus Biru menjadi Kampus Brio.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.