Penulis: Made Supriatma, (Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura)
Kabinet Gendut: Ada yang sedang dikebut di gedung DPR di Senayan. Itu tidak lain adalah revisi undang-undang kementrian negara. Kabarnya, adminstrasi pemerintahan baru akan meningkatkan jumlah kabinet menjadi 40 kementerian, dari yang sekarang 34.
Presiden terpilih ingin mengakomodasi semua kekuatan politik (partai dan non-partai - yang adalah Jokowi). Ia memerlukan banyak posisi untuk merangkul sejumlah besar kekuatan.
Tarik menarik pun dimulai. Partai-partai mengincar banyak posisi strategis. Umumnya ada dua kriteris kementerian yang menjadi incaran: kementrian basah secara keuangan dan kementerian yang berguna untuk kepentingan elektoral. Siapa yang memegang kedua kunci itu, maka merekalah yang akan menang dalam pertarungan selanjutnya.
Kementerian yang strategis secara keuangan adalah kementerian antara lain kementerian pertambangan dan mineral, BUMN, PU, kehutanan, dan lain sebagainya. Sementara yang strategis secara elektoral adalah kementerian dalam negeri, sosial, dan pertanian. Kementerian pendidikan dan agama sebenarnya juga masuk dalam kriteria kedua mengingat besarnya jumlah dana yang dikelola dan jumlah pegawai yang dimiliki. Namun, ia bisa menjadi sumber dana juga.
Apa artinya kabinet gendut seperti ini? Para pengamat yang berpandangan positif mengatakan bahwa ini adalah kabinet yang akomodatif. Artinya, semua dapat bagian. Selain akomodatif, kabinet semacam ini mengurangi resiko konflik. Logikanya, kalau semua orang dapat, dia tentu tidak akan mengganggu pemerintahan. Karena apa? Karena ia ada didalamnya.
Pengamat lain mengatakan bahwa kabinet gendut ini perlu untuk efisiensi pemerintahan. Saya agak heran dengan pendapat ini karena biasanya efisiensi berarti ramping langsing dan bisa bekerja cepat dengan hasil tepat. Artinya, sesuatu yang gendut sukar untuk efisien.
Untuk saya, persoalannya harus dilihat secara berbeda. Pertanyaannya adalah mengapa Prabowo perlu melakukan akomodasi walaupun ia menang dengan mayoritas jernih (58%) dalam pilpres kemarin?
Mengapa ia tidak melakukan 'going it alone' alias jalan sendirian membentuk pemerintahan. Toh dia berada pada mayoritas nyaman? Ia mungkin bisa menawarkan beberapa partai kecil untuk ikut dalam pemerintahannya.
Atau, saya kira ini yang terbaik, ia bisa memaksa partai-partai yang mendukungnya untuk duduk dalam posisi kabinet yang dia kehendaki. Artinya, dia benar-benar menjalankan hak prerogatifnya untuk memilih kabinet. Dia mengalokasikan beberapa kementrian untuk diurus secara profesional oleh para teknokrat. Sisanya, untuk partai-partai.
Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa hal itu tidak dia lakukan? Hingga saat ini, saya cenderung berpendapat bahwa posisi Prabowo saat ini jauh lebih lemah ketimbang Jokowi di 2019 ketika ia dengan mudah memasukkan teknokrat (sebagian diajukan oleh partai politik juga) dan memberi porsi kecil terhadap partai-partai.
Dalam politik, Anda menjadi penguasa itu berarti Anda memiliki kemampuan untuk memaksa orang lain melakukan apa yang Anda kehendaki. Itu pelajaran Politik 101. Jika Anda tidak mampu, maka sesungguhnya Anda penguasa yang lemah.
Prabowo tidak saja tersandera oleh partai-partai politik -- yang berhitung dukungan mereka harus dibalas dengan kursi kabinet -- namun ia juga berhitung dengan Jokowi, yang anaknya adalah wakil presidennya dan tentu juga memiliki kepentingan untuk mendudukkan orang-orangnya di pemerintahan.
Melihat semua kenyataan ini, saya mau tidak mau mengatakan bahwa Prabowo akan menjadi presiden yang lemah, yang tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap kekuatan-kekuatan yang menaikkan dia ke kekuasaan. Jika ia benar-benar presiden yang kuat, ia tidak perlu kabinet yang gendut. Ia bisa memaksa orang untuk mengikuti kepemimpinannya. Dia akan menjadi nakoda dari kapalnya sendiri ke tujuan yang ia tetapkan sendiri-- bukan kapal yang mengharuskan dia singgah di setiap pelabuhan.
Soal kedua yang saya lihat adalah bahwa para elit Indonesia sesungguhynya tidak sedikitpun berpikir tentang rakyat dan bangsa ini. Mereka lebih kuatir akan konsesi tambang mereka. bisnis mereka, serta sanak keluarga dan para kroni mereka yang perlu diberi kuasa.
Mau bukti tentang soal ini? Tidak seorang pun dari elit kita mau bicara tentang mahalnya pendidikan, khususnya pendidik tinggi. Bahkan Dirjen Dikti pun mengatakan bahwa pendidikan setingkat universitas adalah 'tertiary education' yang tidak dibeayai oleh negara. Itulah dalihnya untuk meliberalisi perguruan tinggi negeri.
Tidak sedikit pun ia sadar bahwa pendidikan tinggi itu diperlukan agar orang mendapat pekerjaan yang lebih baik, gaji lebih baik, kualitas hidup lebih baik, keluarga lebih baik ... dan bayar pajak lebih banyak ke negara! Pada akhirnya, orang seperti Ibu Dirjen itu bisa hidup layak karena lebih banyak orang mengenyam 'tertiary education' sehingga hidup mereka lebih baik dan bayar pajak lebih banyak! Jadi manfaatnya ke Ibu Dirjen juga.
Sungguh para elit kita memang sama sekali tidak peduli dengan bangsa ini. Mereka hanya mengamankan kepentingan mereka sendiri beserta keluarga dan kroninya.
Pada bulan Juni tahun lalu, majalah The Economist menerbitkan artikel yang berjudul, "Why are Vietnam’s schools so good?" Artinya, mengapa sekolah-sekolah Vietnam sangat baik? Majalah itu memberikan beberapa jawaban, antara lain yang terpenting adalah guru-guru Vietnam yang terus menerus diberikan pelatihan dan diberi kebebasan berimprovisasi di kelas. Skor STEM (sains, teknologi, enginering/teknik, dan matematika) siswi-siswa Vietnam termasuk yang terbaik di dunia.
Mengapa hal itu tidak terjadi pada kita? Anda kira, para elit kita peduli? Mereka beri Anda bola, yang ditendang pemain naturalisasi.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.