Penulis: Made Supriatma (Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.)
Dagang Sapi dan Toxic Positivity: Setelah keputusan MK, politik Indonesia tampak senyap. Tidak seperti 2014 atau 2019, dimana politik pecah belah masih terasa jauh sebelum pemilihan. Politik 2024 sangat senyap.
Setelah pemilihan, dan hasilnya diketahui, seorang kawan saya berkomentar, "Kok tidak ada kegembiraan ya? Kok suasananya seperti orang layatan ya?"
Pertanyaan itu sangat tepat dilontarkan. Memang "mood" rakyat sesudah pemilihan ini senyap. Lebih-lebih setelah putusan MK. Lebih senyap lagi. Seakan semua sudah selesai. Dan, yang paling penting, orang tidak peduli.
Jumat kemarin saya menulis untuk Fulcrum di tempat saya bekerja, tentang politik sesudah MK. Argumen saya sederhana: bahwa putusan MK menandai dimulainya 'horse trading' atau politik dagang sapi para elit. Itu dilakukan tanpa hiruk pikuk.
Sore tadi, kebetulan saya hadir di sebuah stasiun TV untuk membahas ide dari "Presidential Club," yang dilontarkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto. Belum jelas apa maksud dari presidential club ini. Tapi dari juru bicara dan pendukungnya, ini dimaksudkan sebagai sarana ketemunya para mantan presiden dengan yang sedang menjabat untuk membahas isu-isu strategis bangsa di masa depan.
Jokowi sendiri, yang masih menjadi presiden hingga Oktober nanti, entar berguaru atau serius mengatakan bila perlu anggota Presidential Club ini bertemu dua hari sekali. Tentu saya nyengir mendengar ini. Karena Megawati dan SBY selama dua puluh tahun saja nggak pernah ketemu dan bicara, kecuali saat undangan. Itu pun hanya salaman basa basi.
Saya juga membaca bahwa ide presidential club ini diambil dari Amerika Serikat. Untuk saya, yang belajar serius tentang sistem politik dan pemerintahan Amerika, klaim seperti ini tentu aneh, kalau tidak kebangetan 'ignoramus'-nya. Pra mantan presiden Amerika -- kecuali Trump -- tidak akan bikin gaduh. Kalau pensiun, ya pensiun. Urus perpustakaan kepresidenan atau membantu partainya untuk mencari dana-dana kampanye.
Sistem dua partai di Amerika membuat adanya dua pandangan atau visi politik yang berbeda. Keduanya merupakan satu alternatif dari yang lain. Dua partai dengan dua ideologi -- liberal dan konservatif -- menawarkan pandangan yang sangat berbeda untuk menghadapi masalah bangsanya. Sehingga seorang mantan presiden dari Demokrat pun tidak mungkin memberi saran kepada presdien Republikan. Mereka punya resep tersendiri dalam menyelesaikan masalah bangsanya.
Itulah sistem 'check and balances.' Jika satu pihak berkuasa, maka pihak lain menjadi pengimbangnya. Pihak yang tidak berkuasa (sebutlah oposisi kalau Anda suka), akan memberikan visi alternatif dari kebijakan pemerintahan yang berkuasa. Tentu saja dalam bentuk kebijakan, yang kadangkala dilengkapi dengan angka-angka, seperti misalnya kita akan bisa berhemat sekian milyar USD dengan ide kebijakan kami.
Di Indonesia, ide ini tidak berlaku. Bahkan ditanggapi sebagai upaya memecah belah, ketika ide 'check and balances' ini saya kemukakan.
Namun saya kira, ide bahwa ada kekuatan yang menjadi rem dan imbangan terhadap yang pihak yang berkuasa ini, saya kira perlu. Dengan kata lain, saya melihat perlu ada oposisi -- yang menawarkan pandangan alternatif terhadap kekuasaan. Pandangan alternatif terhadap masa depan bangsa ini. Hanya dengan cara itu kita bisa maju, karena pandangan alternatif itu bisa menjadi rem ketika kita salah arah.
Ide Presidential Club ini, tentu bertentangan dengan ide "check and balances." Saya paham betul keinginan para elit kita -- lebih baik bersatu dan berbagi diantara kita saja. Kekuasaan kita batasi hanya sebatas 'jape methe" (istilah orang Jogja untuk menyebut kawan sendiri).
Ide kekuasaan terbatas ini bukan ide baru. Pada jaman Orde Baru, ide inilah yang ditubuhkan ke dalam rejim otoriter itu. Tidak ada oposisi. Semua persoalan diselesaikan antar 'jape methe' tadi. Orang-orang yang berada diluar sistem itu harus diberangus, tidak punya legitimasi, dan bila perlu dibuang ke penjara atau dipaksa mengambil pengasingan di luar negeri.
Mengapa ini terjadi? Seorang teman lain dari dunia akademis mengamati apa yang terjadi pada kampanye pemilihan umum kemarin. Tahun 2024 ini sangat berbeda dengan 2014, dan terutama 2019, yang dipenuhi oleh ujaran kebencian (hate speech). Rakyat dipecah belah antara dua kubu.
Tahun 2024, taktik politik yang dipakai adalah dengan menyemburkan 'energi positif.' Pemenang tidak lagi menyemburkan kebencian. Dia tidak menggebrak podium, melainkan joged-joged. Slogan politik menjadi riang gembira.
Namun, dibalik itu prosesnya sangat brutal dan kotor. Dipermukaan sangat 'glowing,' positif, dan riang gembira. Akademisi ini menyebutnya dengan istilah yang sangat akrab untuk para Gen X-ers, yakni "toxic positivity."
Para elit kita sekarang berusaha keras untuk membangun optimisme dalam bentuknya yang paling ekstrem, yang bentuknya tampak sangat santun dan beradab dalam segala suasana. Mereka mengklaim melakukan yang terbaik, menjadi pemersatu ketimbang pemecahbelah, pendamai ketimbang pembuat konflik, dan sebagainya.
Yang tidak mereka katakan adalah bahwa ini adalah usaha untuk mengubur semua kesulitan nyata yang kita hadapi sebagai bangsa. Toxic positivity berusaha mengubur semua hal yang sulit: bahwa 25% dari orang yang berusia 18-30 tahun di negeri ini tidak bekerja, tidak sekolah, dan tidak mengambil kursus apapun untuk meningkatkan ketrampilan (BPS: 2023); bahwa akses ke dunia pendidikan sangat timpang; bahwa di negeri ini berlaku dua jalur keadilan -- satu untuk kaum kaya dan berkuasa, yang lain untuk rakyat kebanyakan; bahwa ada banyak hak-hak asasi manusia masih dilanggar, dan pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah diselesaikan; bahwa ekonomi juga tidak membaik; bahwa pemborosan, salah urus, dan terutama korupsi semakin menjadi-jadi, dan lain sebagainya.
Toxic positivity ini membuat rakyat jinak (domesticated) untuk sementara waktu. Sampai kemudian mereka sadar bahwa semua hal yang positif ini sesungguhnya adalah beracun (toxic)!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.